Soal ‘Kesusastraan’

Saya sedang menyelesaikan pekerjaan ketika menjumpai kesusastraan di linimasa Twitter malam lalu. Kata itu tentu telah sering kita temukan di banyak tempat. Saya biasanya asal menganggap diri paham arti susastra dan sastra, tetapi ini kali saya terusik olehnya.

Pertanyaan saya satu saja: apa beda kesusastraan dan kesastraan?

Saya sempatkan buka KBBI daring dan menemukan bahwa makna susastra adalah ‘karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi’.

Dengan kata lain, susastra merujuk pada hal yang lebih khusus daripada sastra. Dari sini, mungkin kita bisa padankan secara kasar kata ini dengan istilah high literature. Sementara itu, sastra bersifat lebih luas, mencakup segala jenis karya sastra dari yang populer hingga susastra.

Susastra memiliki beberapa turunan, termasuk kesusastraan. Menariknya, yang terakhir itulah yang lebih sering saya dengar (dan selama ini gunakan) untuk merujuk makna ‘perihal sastra’ dibanding kesastraan. Ini tentu saja kurang tepat.

Setelah ini saya sebaiknya lebih cermat dalam menggunakan kata kesusastraan dan kesastraan.

Tawaran dan Penawaran

Bahasa Indonesia—perkenankan saya untuk memulai tulisan ini dengan perkataan klise tetapi benar adanya—adalah sebuah bahasa yang sesungguhnya cukup kaya dengan segala keanekaragaman yang dikandungnya. Maka, sebaiknya kita cegah segala pemiskinan karena alasan-alasan tidak perlu, apalagi ketika hal itu sebenarnya bisa kita hindari tanpa bersusah payah.

Setiap kali menemuinya di perempatan, atau pun di banyak tempat lain secara daring dan luring, saya selalu terusik dengan kata penawaran. Dalam proses penerjemahan, banyak penggunaan kata ini merupakan pemadanan dari kata bahasa Inggris offer. “Penawaran terbatas!” misalnya, kemungkinan besar merupakan terjemahan dari “Limited offer!

Memang tidak ada masalah komunikasi di sini, dan setiap orang yang melihatnya saya pikir akan mampu menangkap maksud seruan rayu khas pertokoan tersebut. Hanya saja, dari sudut pandang morfologis, penggunaan penawaran ini pantas disayangkan karena merupakan kemubaziran alias sesuatu tidak perlu.

Continue reading

Do You Speak Bahasa?

Saya samar-samar ingat di waktu silam saya harus meyakinkan seorang pelanggan bahwa Kawah Ijen cukup diterjemahkan menjadi Ijen Crater saja, tidak perlu Kawah Ijen Crater. Itu akan menjadi kemubaziran karena kawah berarti ‘bagian puncak gunung berapi yg dilewati bahan letusan berbentuk lekukan besar’ (KBBI), yang sepadan dengan pengertian lema crater dalam kamus-kamus bahasa Inggris.

Mungkin pelanggan saya itu memiliki timbangan bahwa Kawah Ijen sudah terlanjur dikenal secara internasional sebagai semacam merek, jadi harus dijaga keutuhannya meski harus sedikit “membodohi” diri sendiri dan pembaca. Dan mengorbankan efisiensi.
Continue reading

Kuliner sebagai Kata

Mungkin berkat jasa Pak Bondan dan acara televisinya, kuliner menjadi kata yang populer beberapa tahun belakangan. Kata ini kerap muncul dalam percakapan sehari-hari sehingga kita tidak (perlu) kesulitan memikirkan maknanya: apa yang dimaksud dengan kuliner pada suatu konteks akan mudah tersampaikan.

Continue reading

Catatan Singkat tentang Negeri Jiran dan Para Perantau Dermawan

Desember tahun lalu adalah kali pertama saya mengunjungi Malaysia. Agenda pelancongan ini menjenguk saudara dan nonton Timnas main di Piala AFF 2012. Saya sempat menyinggahi dua tempat: Pulau Pinang di lepas pantai sebelah barat semenanjung, lalu Kuala Lumpur di selatan. Tentu saja, saya berharap untuk mendapatkan pengalaman menarik di bangsa yang sering dipandang secara antagonistik oleh banyak dari kita orang Indonesia.

Kata jiran, seperti yang anda ketahui, diserap dari bahasa Arab yang artinya tetangga. Maka selayaknya saat bertamu ke tetangga samping rumah, saya berusaha untuk membuang jauh-jauh prasangka buruk tentangnya. Akan tetapi, ketika berada di dalam taksi dari bandara ke penginapan di Pulau Pinang, masih saja ada keraguan untuk sekadar berbicara tentang pertandingan sepak bola yang dihelat sebentar lagi itu. Dengan naif, saya khawatir kalau-kalau sopir taksi, yang selama lima menit pertama perjalanan diam, akan mengurangi kualitas pelayanannya setelah mengetahui penumpangnya dari Indonesia.

“Ini mau lihat bola, tapi mampir Pinang dulu,” saya akhirnya membuka obrolan.

Continue reading

Apakah “Selera” Membutuhkan “Dengan”?

Seorang rekan di sebuah forum bertanya mengenai pemakaian kata sesuai: mana yang benar, “sesuai selera” atau “sesuai dengan selera”? Pertanyaan ini sederhana sekaligus menarik sehingga mengundang banyak jawaban dari rekan-rekan lain.

Beberapa berpendapat bahwa yang lebih benar adalah yang kedua, dan pengorupan preposisi (dalam hal ini, dengan) disebabkan oleh para pekerja media yang diharuskan mengirit ruang. Tetapi ada yang dengan tegas menyatakan kedua-duanya berterima dalam bahasa Indonesia. Pendapat saya berada di sisi yang sama dengan yang terakhir ini. Dan walaupun bukan seorang jauhari linguistik, izinkan saya menjelaskan alasan di baliknya.
Continue reading